Pelantikan Raja Negeri Ouw
Layaknya sebuah kerajaan dimana penerus tahta adalah keturunan raja sebelumnya, maka demikian pula terjadi dalam pemilihan raja negeri. Calon raja terpilih minimal masih memiliki hubungan darah dengan raja-raja negeri sebelumnya, atau disebut matarumah negeri. Kemudian yang memutuskan siapa raja terpilih adalah para saniri negeri, tetua-tetua adat negeri yang sehari hari membantu raja. Seorang raja memiliki masa pemerintahan 5 tahun, dan setelah itu dapat dipilih lagi. Keputusan Saniri negeri akhirnya dilegitimasi dalam SK bupati maluku tengah.
Upacara pelantikan Raja Negeri Ouw di langsungkan pada bulan desember 2010. Yang Terpilih sebagai Raja negeri Ouw periode 2010-2015 adalah bapak Simon Pelupessy.
Prosesi dimulai dengan pelantikan secara Hukum oleh Bupati Maluku Tengah, Abdullah Tuasikal. Surat keputusan bupati dibacakan dan kemudian raja terlantik diambil sumpah jabatannya. Acara dilanjutkan dengan jamuan makan di rumah raja negeri ouw. Setelah Acara makan-makan selesai dimulailah pelantikan raja secara adat. Rombongan raja kembali ke Baileu (rumah adat maluku) disertai tarian cakalele dari para kapitan. Acara ditutup dengan pelantikan raja secara gerejawi di gereja negeri ouw.
Sungguh suatu prosesi yang panjang untuk melantik seorang raja, membutuhkan waktu seharian untuk menuntaskan semua prosesi ini. Bahkan lebih rumit daripada pelantikan presiden. Tapi itulah uniknya kebudayaan maluku ini.
Artikel berikutnya »
KERAJINAN TANGAN NEGERI OUW, SAPARUA, MALUKU, INDONESIA
Inilah kerja tangan…Gadis Lisaboli Kakelisa (Negeri Ouw)…Dari dahulu kala…Moyang-moyang kami….
Itulah cuplikan senandung Oya Pelupessy (72) sembari mengolah tanah liat
menjadi sempeh atau gerabah di halaman rumahnya, di Negeri Ouw,
Kecamatan Saparua, Maluku Tengah, Maluku. A Ponco Anggoro Sudah 57
tahun, perempuan renta itu melestarikan sempeh berikut lagu warisan
nenek moyangnya tersebut. Lagu daerah Maluku itu berkisah tentang tata
cara pembuatan sempeh dari tanah liat. Mulai dari proses mengambil tanah
liat, merendam, mengadon, menjemur, hingga membakarnya sebelum dijual.
Lagu itu diciptakan oleh nenek moyang orang Saparua agar sempeh tetap
lestari. Lagu ini pula yang menyertai Oma Oya, begitu kerap dia disapa,
dalam setiap pembuatan sempeh hingga di usianya yang sudah renta.
Senandung lagu membuat hati ceria, sehingga pembuatan sempeh yang sulit
dan menguras tenaga menjadi ringan dan mudah. ”Hati senang buat awet
muda,” tuturnya seraya tersenyum. Sejak berusia 15 tahun, Oya remaja
mulai mempelajari cara pembuatan sempeh dari orangtuanya, Paul Pelupessy
dan Wehelmina Pelupessy. Bukan hal aneh memang. Ketika itu, hampir
semua warga Ouw di jazirah tenggara Pulau Saparua bekerja sebagai
perajin sempeh. Sempeh buatan perajin banyak dipakai oleh warga Saparua,
bahkan warga pulau-pulau lain di sekitarnya, termasuk sampai ke Ambon,
ibu kota Maluku. Sempeh memang menjadi peralatan utama rumah tangga kala
itu sehingga banyak dicari. Oleh warga Saparua, sempeh digunakan untuk
memasak papeda (sagu), sagu lempeng atau ikan, dan membuat obat-obatan
tradisional. Biasa juga digunakan sebagai wadah suguhan, yang berfungsi
seperti piring. Tidak itu saja, bahkan, sempeh juga untuk kompor. Warga
setempat menyebutnya kompor dari sempeh itu anglong. Sempeh bisa pula
dibuat untuk belangan air, layaknya kendi. Belangan air ini biasa
dijunjung di atas kepala dengan alas kain penggal. Lingkaran kain
berguna untuk menjaga keseimbangan supaya belangan tidak jatuh dari
kepala. ”Karena keperluan-keperluan inilah, waktu itu sempeh dibuat
dalam ukuran besar,” kata Oma Oya. Pamor meredup Namun, perjalanan waktu
rupanya membuat cerita lain. Pamor sempeh mulai berkurang seiring
maraknya peralatan rumah tangga buatan pabrikan, yang kini umumnya
dibuat dari plastik atau logam. Satu per satu perajin sempeh di Ouw jadi
”mati suri”. Kalaupun ada perajin yang masih membuat sempeh, itu hanya
pekerjaan selingan, saat mereka tidak ada pekerjaan lain. Namun tidak
demikian halnya dengan Oma Oya. Setiap hari dia masih tetap setia
membuat sempeh. Padahal, semua itu bukan pekerjaan mudah. Setiap hari
dia masih berjalan kaki ke hutan sekitar satu kilometer jauhnya untuk
mengambil tanah liat, mengolah dengan jari-jemarinya, menjemurnya,
hingga membakarnya sebelum akhirnya dijual. Oma Oya seperti tidak
termakan zaman. Dia membuat sempeh masih dengan cara tradisional seperti
yang diajarkan orangtuanya. Sempeh setengah jadi masih dibakar dengan
gaba-gaba (pelepah pohon sagu), dengan cara menumpukkan sempeh di antara
gaba-gaba. Damar yang diperoleh dari Kairatu, Pulau Seram, pun masih
digunakan untuk melicinkan sempeh setelah dibakar. Karena menjadi
satu-satunya perajin sempeh yang masih rajin membuat sempeh, nenek dari
tiga cicit ini sering menjadi rujukan wisatawan asing yang berkunjung ke
Ouw. Tanjung Ouw di Negeri Ouw, merupakan salah satu tempat wisata di
Saparua. Keindahan Tanjung Ouw pernah dilukiskan penyanyi Bob Tutupoly
dalam sebuah lagu. Turis asing, umumnya warga Belanda, yang masih punya
keluarga atau kerabat di Saparua, senang melihat kepiawaian Oma Oya
membuat sempeh. Tidak heran jika sejumlah agen perjalanan wisata masih
sering membawa rombongan turis ke rumahnya. Ternyata, semakin hari
semakin banyak saja turis yang mendatanginya. Itu bisa jadi karena para
turis tersebut menceritakan kepiawaian Oma kepada teman-temannya. Pernah
satu kali, seorang turis yang berkunjung ke Ouw menunjukkan foto Oma
Oya kepada warga setempat. Rupanya, dia mencari Oma Oya untuk melihat
kepiawaiannya membuat sempeh. Dari kunjungan para wisatawan ini, Oma Oya
memperoleh tambahan penghasilan. Rupanya, setiap turis yang datang
selalu memberikan sumbangan sekitar Rp 20.000 – Rp 50.000 setelah
melihat ketelatenan Oya. Namun demikian, semua itu diterimanya dengan
lapang hati. Bahkan, dia selalu menolak bantuan dari pemerintah karena
khawatir dimanfaatkan oleh oknum-oknum pemerintah. Kini, dia juga
mencoba membuat sempeh dalam ukuran kecil. Replika sempeh itu dibuat
agar turis yang ingin membeli sempeh tidak kerepotan membawanya. ”Kalau
besar, tentu mereka akan kesulitan membawanya sebagai oleh-oleh. Kalau
kecil, bisa mereka bawa dalam tas buat ditunjukkan pada ke
teman-temannya,” katanya. Agar terlihat ”berseni”, Oma Oya menyisipkan
sedikit ukiran di sempeh-sempeh mungil ini. Ukirannya sederhana:
berbentuk titik, garis, dan segi tiga, tetapi cukup membuat sempeh lebih
”berwarna” dibandingkan dengan bentuk aslinya. ”Harus dengan perasaan,
hati-hati, pelan-pelan, untuk membuat sempeh-sempeh kecil ini.
Membuatnya lebih sulit dibandingkan dengan membuat sempeh dalam ukuran
besar,” katanya. Kreativitas dan keuletan perempuan yang senang
bernyanyi ini berbuah hasil. Setiap turis yang datang selalu membeli
sempeh yang dihargainya Rp 15.000 itu. Sementara sempeh ukuran besar
untuk keperluan rumah tangga, dijual Rp 25.000. Dalam sebulan, dia bisa
menjual 50 sempeh mungil atau dua sampai tiga kali lipat lebih banyak
dibandingkan penjualan sempeh berukuran besar. Selain itu, dia juga
memodifikasi sempeh sehingga bisa digunakan untuk pot bunga. Beraneka
bentuk dan ukuran pot bunga dibuat dan dijual dengan harga sekitar Rp
25.000. Dari kreativitas dan keuletannya inilah, hasil dari sempeh bisa
digunakan untuk menyekolahkan ketujuh anaknya. Ketujuh anaknya kini
sudah berkeluarga dan memiliki 40 anak atau cucu bagi Oya. ”Jangan
sampai anak-cucu tidak mengenal lagi sempeh. Sempeh warisan nenek moyang
yang harus terus dilestarikan,” tuturnya. Dia bertekad akan terus
membuat sempeh hingga akhir hayat.







0 komentar:
Posting Komentar
Silakan Berkomentar...